Pagi itu, selepas kumpul shubuh, aku bersiap untuk ke kampus seperti biasa. Dengan persiapan yang tinggal sedikit, aku merasa bisa melakukannya dengan santai. Sampai akhirnya aku kaget melihat jarum jam panjang yang sudah menunjuk angka 10. Dan butuh waktu sepuluh menit kurang sampai supir grab datang. Akhirnya aku cuma bisa pasrah kalau ketinggalan shuttle unpad. Iya, jadwal keberangkatan shuttle ke kampus jatinangor adalah jam 6 tepat.
Tiba-tiba aku teringat sebuah tulisan yang sampai membuat aku merinding. Si penulis menyatakan kalau dirinya beristigfar semampunya dan mencoba melapangkan hati saat ia ngga punya banyak waktu untuk sampai ke stasiun. Dan yang terjadi adalah si penulis berhasil datang tepat waktu, padahal menurut perhitungan manusia, dengan kondisi hujan lebat dan motor yang mogok selama dua puluh menit di perjalanan, dirinya ngga akan bisa sampai ke stasiun tepat waktu.
Kalau waktumu sempit tapi kamu punya banyak keinginan, beristigfarlah. Karena Allah akan memaafkanmu, dan bila Dia memaafkanmu, keinginanmu akan dipenuhi-Nya tanpa kamu meminta.
Sepanjang perjalanan aku beristigfar dan pasrah kalau-kalau emang ketinggalan shuttle. Gapapa deh, masih ada bus umum, batinku. Tapi sepanjang perjalanan, rasanya pengen banget bilang ke supir grabnya buat menaikkan kecepatan motornya, kemudian aku urungkan karena aku tau itu beresiko di jalan pintas yang kami lalui. Rasanya juga pengen banget ngomel ke bapak-bapak yang bawa gerobak makanan karena menyebrang jalan dan membuat perjalanan berhenti sejenak. Kalau bisa, aku juga pengen marah ke bapak supirnya karena ngga langsung menjemput aku, malah diem di tempatnya cukup lama.
Tapi, semua itu aku urungkan. Aku mencoba untuk beristigfar banyak-banyak dan berlapang hati. Dan alhamdulillah, shuttle datang berbarengan dengan kedatanganku.
Aku jadi ingat, setiap bersama ayah, setiap kami dihadapkan suatu masalah, ayah pasti selalu menyuruhku untuk bersabar, berbaik sangka, dan berdoa. Ayah sekalipun ngga pernah ngomel ini-itu, walau aku tau di mukanya tergambar jelas bahwa ia kebingungan dan panik. Awalnya aku selalu kesal dengan sikap ayah yang selalu santai tiap masalah datang. Tapi semakin aku bertambah usia, aku jadi semakin mengerti bahwa masalah harus dihadapi dengan kepala dingin, bukan dengan omelan dan keluhan yang jelas-jelas ngga ada gunanya. Emang, ayah terlihat santai, tapi dulu aku ngga tau kalau ternyata ayah mengucap banyak istigfar dan doa lainnya dalam hati, juga menyiapkan berbagai solusi yang berkeliaran di dalam kepalanya.
Aku bersyukur, karena ayah selalu memberi contoh saat menghadapi masalah, yang secara langsung aku ngga menyadari itu. Aku bersyukur masih bisa bersikap tenang, walau terkadang masih panik dan mondar-mandir ngga jelas. Satu hal yang pasti, bahwa gampang mengeluh itu sangat sia-sia. Aku ngga pernah tau seiring dengan datangnya masalah itu, ada kebaikan apa yang akan mampir setelahnya. Karena rasanya bener-bener nikmat, saat masih bisa mengucap syukur ketika masalah datang, dan kemudian ngga lama setelah itu, banyak kebaikan yang menghampiri. Dibandingkan langsung mengeluh dan kemudian menyesal saat satu persatu kebaikan mulai berdatangan.
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS 94: 5-6)