Sore itu, selepas pembinaan bulanan, aku sudah berdiri di pangkalan damri menuju Jatinangor. Damri yang baru datang menolak penumpang, mau membawa rombongan, katanya. Bapak supir damri di akhir kalimatnya berkata bahwa sebentar lagi jadwal keberangkatan damri berikutnya akan datang. Aku mengangguk pelan, diikuti desahan kecewa dari penumpang lain yang sudah menunggu sebelum aku sampai.
Sepuluh menit berlalu, dari sekian banyak angkot (sebutan untuk angkutan kota), ada satu supir yang menawari untuk mengantar sampai Jatinangor dengan tarif sepuluh ribu, hanya jika banyak yang mau menumpang. Sembilan dari sekian penumpang yang masih setia menunggu damri setuju sambil buru-buru menaiki angkot. Aku sempat terdiam, berpikir apakah ini pilihan terbaik. Damri belum tentu datang sebentar lagi, kalau naik damri juga akan sampai di Jatinangor saat sudah gelap, pikirku. Karena semua penumpang di angkot masih mengarahkan matanya padaku, aku yang masih berkutat dengan segala kemungkinan, akhirnya berhasil menjadi penumpang terakhir yang ikut naik.
Kalau naik damri, pasti sekarang aku udah terlelap tidur, pikirku.
Fyi, kalau kalian udah pernah baca ini, pasti tau kenapa aku bisa tidur di damri.
Satu jam berlalu, ngga sesuai dugaanku, angkot sudah melesat melewati bunderan Cibiru. Jalanan saat itu padat merayap, tapi cukup untuk angkot sampai di Jatinangor sebelum gelap. Aku menyesal karena sebelumnya terlalu berpikiran negatif, bahwa naik angkot akan memakan waktu lebih lama dibanding naik damri. Ternyata, jalanan ngga sepadat yang aku kira. Aku bersyukur karena Allah selalu memudahkan jalan, padahal sebelum berangkat aku sangat bingung memikirkan apa yang harus aku lakukan jika sampai di Jatinangor saat malam sudah menyapa karena aku masih harus packing kebutuhan fieldtrip ke Pangandaran dengan keberangkatan pukul 11 malam nanti.
Saat aku masih berkutat dengan pikiran-pikiran itu, ada salah satu penumpang motor yang meneriaki supir angkot untuk segera menepi. Selang beberapa detik setelah angkot berhenti, penumpang motor itu –yang bisa diketahui dari tampilannya adalah preman sekitar– berteriak kasar dengan mengabsen semua penghuni kebun binatang sambil memukul dashboard mobil, tepat di sisi perempuan paruh baya yang duduk di kursi penumpang depan.
Kami, para penumpang lain yang semuanya adalah perempuan, kaget sekaligus geram. Bahkan salah satu dari kami mengomel pada preman itu, yang akhirnya ditenangkan oleh seorang ibu di sebelahnya. Gimana bisa, bertindak kasar seperti itu di depan perempuan, apalagi yang usianya sudah lanjut? Ngga usah pakai hati dulu deh, cukup pakai logika, bukannya laki-laki yang bersikap kasar di depan perempuan sudah cukup untuk dibilang pengecut?
Setelah beberapa menit hanya berteriak dan memukul secara kasar, preman itu pindah ke bagian kanan, tempat supir duduk. Kenapa ngga dari tadi teriak-teriaknya di situ? gumam perempuan berkacamata yang duduk di seberangku, yang diikuti anggukan setuju dari kami.
Aku menghela nafas, hampir sepuluh menit preman ini masih mengulang-ulang kalimat dan gerakan yang sama. Tangannya memukul stir mobil, matanya melotot –kalau Ia melipatgandakan tenaganya, mungkin bola matanya bisa ke luar saat itu juga–, sesekali jarinya menunjuk dadanya seolah-olah ada kebanggan di dalam dirinya yang harus dihormati oleh setiap orang, dan mulutnya tidak berhenti mengumpat dengan nada dan kalimat serupa. What exactly does he want? Respect? or… Money, maybe?
Selama itu pula supir angkot meminta maaf sambil berusaha tersenyum menghormati preman itu. Aku berteriak dalam hati, hey, preman itulah yang seharusnya bersikap sopan dan hormat sama orangtua! Aku jadi teringat ayah. Gimana kalau ayah yang diperlakukan begitu? Bahkan saat mendengar cerita ayah yang didatangi orang ngga dikenal saat sedang dzikir di mesjid menunggu waktu shubuh, adalah kekhawatiranku yang paling besar saat ini. Aku tahu, setiap orang tua, setiap ayah, mempunyai jiwa yang ngga gentar jika dihadapkan situasi seperti ini, karena itulah kodrat mereka, mereka jauh lebih bisa melindungi diri sendiri karena keselamatan keluarga ada di prioritas pertama dan utama mereka. Sama dengan bapak supir angkot ini, aku sangat tau kalau Ia ketakutan, tapi masih tetap berusaha tegar agar kami –penumpang yang semuanya adalah perempuan– tetap merasa aman bahkan dalam situasi seperti ini.
Ngga lama kemudian, drama itu akhirnya selesai. Aku yang masih belum bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi hanya diam sampai seorang ibu yang menenangkan perempuan berkacamata sebelumnya mengeluarkan suara. Preman itu marah karena supir angkot ngga membeli minuman seharga lima ribu rupiah. Yaiyalah, siapa juga yang mau beli ale-ale lima ratusan seharga lima ribu?, gumamku. Kalau angkot itu kenal aturan daerah itu (re: Cinunuk), mau ngga mau pasti dibeli. Karena angkot yang aku tumpangi bukan jurusan daerah itu, dan pemilik angkot ini adalah musuh bebuyutan dari pemilik angkot daerah itu, drama tadi pun terjadi dan ngga bisa dihindarin. Yah, gimanapun, semua yang terjadi menambah daftar pengalaman baru yang ngga akan terlupakan. Karena pengalaman adalah guru terbaik, bukan?
Lima belas menit kemudian, aku turun dari angkot sambil melemparkan senyum kepada supir dan penumpang lainnya yang masih tersisa. Dengan sebelah tangan yang membawa totebag berisi sembako dan snack untuk keperluan melaut nanti, aku berjalan menuju rumah kontrak teman di daerah Sayang. Akhirnya aku sampai di tempat tujuan sebelum adzan maghrib berkumandang. Setelah selesai packing dan menceklis semua daftar barang bawaan, kami menunggu kedatangan bus yang tiba di lapangan UKM barat di kampus pukul 01.00. Setengah jam kemudian, kami berangkat menuju tempat fieldtrip terakhir: Pangandaran.
bersambung.