Banyak yang bilang kalau aku adalah orang yang teramat sabar dan kuat. Saat banyak dari mereka yang membercandaiku, aku hanya diam sambil tersenyum. Mereka bilang, “Safa sabar banget ya digituin, kalau aku pasti udah marah-marah.”
Bahkan saat Allah memanggil ibu, tangisanku sudah berhenti sebelum ibu dimandikan. Saat teman-temanku datang ke rumah, mereka heran karena tidak ada satupun air mata yang ke luar dari mata ini, juga tidak ada cerita-cerita yang menggambarkan bahwa aku sangat kehilangan.
“Safa sabar banget, temenku saat kehilangan ayahnya ngga bisa berhenti nangis, loh.”
Aku bukan orang yang memiliki kesabaran sebegitu besar. Aku juga bukan orang yang kuat bahkan saat dihadapi dengan suatu hal yang sangat membuat diri ini terpuruk.
Saat ibu meninggal, aku menangis sejadi-jadinya, bahkan saat aku menulis kalimat ini, pandanganku mulai kabur. Tapi aku teringat bahwa yang ibu butuhkan bukan aku yang menangisi kepergiannya, bukan aku yang menangis hingga menyalahkan takdir-Nya.
Aku tahu, Allah sungguh sayang dengan ibu, maka Allah panggil ibu lebih dulu. Aku tahu, ibu sudah menderita menahan rasa sakit selama tiga tahun terakhir. Dan aku tahu, ini adalah yang terbaik.
Setiap kali aku berpikir ulang, aku selalu bersyukur kepada Allah karena bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama ibu. Selama waktu itu, aku selalu bersyukur. Bersyukur karena setiap bersama ibu, aku selalu merasa lebih dekat dengan Allah. Dan aku juga bersyukur bisa menghabiskan waktu dengan ibu bahkan di tiga tahun terakhir ibu sakit. Aku bersyukur karena Allah memberi aku lebih banyak waktu dan kesempatan untuk berbakti kepada ibu saat sakit.
Aku tidak sesabar yang mereka pikir. Aku hanya melihat dari sudut pandang yang bisa membahagiakan ibu. Agar kelak rasa rindu ini terbayarkan saat Allah mempertemukan kami di syurga-Nya.
Bandung, 9 Ramadhan 1438 H.
Perjalanan ke Jatinangor ditemani kupu-kupu kuning yang hinggap di jendela damri dan hujan sore.