Sesuai janji, aku mau ngebahas tentang judul KKN yang aku ambil kemarin: Literasi Media Sosial. Saat pertama kali ambil judul ini, teman-temanku yang nanya judul, hampir sebagian besar ngga tau apa itu literasi media. Dan aku ngga begitu heran mereka ngga kenal istilah itu, karena setauku, istilah literasi ngga begitu viral di kalangan pengguna media sosial. Walaupun aku tau, sebagai mahasiswa mereka udah bisa memilih dan memilah mana informasi yang baik dan benar.
Dari situ aku bisa menyimpulkan kalau para remaja di desa pasti masih asing dengan istilah ini. And you know what? Menurut World’s Most Literate Nation tahun 2016, Indonesia menempati urutan kelima pengguna smartphone terbanyak di dunia, tapi untuk soal literasi menempati urutan kedua terendah.
Ketika melakukan Focus Group Discussion (FGD) bersama anggota Karang Taruna di RW 04 Desa Jatimukti (desa ini masih cukup dekat sama kampus, fyi), pemahaman mereka tentang media sosial masih kurang. Situs berita yang mereka pakai juga sebatas dari facebook dan whatsapp. Cuma 0,1% dari mereka yang menggunakan detik.com sebagai sumber berita.
Berita-berita hoax yang memuat ujaran kebencian, provokasi, maupun fitnah bisa mengalir sederas air terjun. Menurut artikel yang aku baca dari kompas, berita hoax itu diibaratkan seperti kanker yang menyerang melalui aliran darah dan bisa meruntuhkan jaringan tubuh politik republik. Yaaa, menurutku sih ngga cuma tubuh politik aja yang bisa runtuh, karena dampak negatifnya bisa dirasain semua pihak.
Terakhir aku buka facebook (mungkin sekitar tiga bulan lalu), berita-berita yang dishare di home kebanyakan berita yang menurutku annoying. Misalnya, berita tentang artis tanah air, penemuan hewan misterius atau abnormal, yaa sejenis itu deh. Walaupun di antara tumpukan berita-berita itu pasti masih ada berita yang lebih berkualitas. Pasti. Tapi, buat yang cuma mengandalkan media sosial tertentu sebagai situs berita, kan rasanya kurang trusted. Ngga jarang juga beberapa individu/kelompok manfaatin berita hoax buat kepentingan diri sendiri. Yang rugi kan kita sebagai pengguna media sosial yang setiap hari nerima informasi dari sana.
Aku selalu penasaran, kenapa pengguna medsos bisa dengan gampang terpengaruh berita hoax. Setelah browsing sana-sini, ternyata pengguna medsos bisa terpengaruh karena isi berita tersebut sesuai dengan pendapat mereka. Bener juga, kan? Setelah dipikir-pikir, aku pernah ngeshare berita yang berita-itu-aku-banget tanpa aku cek dulu kebenarannya, tapi ternyata itu hoax. Rasanya? Malu, iya. Ngerasa ketipu, juga iya.
Oh iya, ada satu hal menarik saat FGD KKN kemarin. Waktu ditanya apakah mereka pernah berkomentar negatif alias nyinyir kepada salah satu tokoh/artis di media sosial, ada satu orang anak yang senyum-senyum sambil ngangguk semangat. Dia nyinggung soal ‘plastik-plastik joged’ alias Kpop. Aku, sebagai orang yang pernah suka Kpop, pengen banget nyumpel mulut anak itu pake pisang goreng, biar omongannya bisa jadi semanis pisang goreng. Oke sip.
Ini nih yang aku sesalin. Desember kemarin, salah satu artis Kpop ternama dikabarin bunuh diri. Dari situ aku baru tau istilah ‘plastik joged’ dari para netizen tukang nyinyir. Heran deh, kalau ngga bisa ngomong baik-baik, kenapa mesti mencela orang yang udah meninggal? Rasanya netizen tuh jadi orang yang paling jahat yang pernah aku kenal. Ha!
Aku jadi semakin tertarik ngikutin komentar-komentar dari setiap berita yang lagi in. Misalnya, berita tentang dua orang standup comedy yang kabarnya ngehina umat Islam. Lagi-lagi, aku kepo sama kolom komentar. Dengan kekuatan stalking tingkat internasional (karena biasa nge-stalk orang di masa lalu, halah), aku liatin semua komentar di berbagai akun termasuk akun kedua orang tersebut. Dalam hitungan detik setelah berita itu muncul di media sosial, postingan kedua artis tersebut udah penuh sama hujatan, makian, cacian, dan segala macem yang bikin aku kagum selama satu detik (karena netizen bisa secepat itu) dan takut sampai detik ini (karena terbukti kalau pena lebih tajam daripada pedang).
Kayanya, aku perlu nempel kertas di jidat para netizen yang tulisannya “berkata yang baik atau diam”. Greget!
Mungkin udah jadi kebiasaan manusia buat berkomentar atas apapun yang terjadi, apalagi ngomentarin hidup orang lain, wih, rasanya kaya ada kepuasan tersendiri. Tapi, kenapa netizen ngga mikir, gimana kalau dia yang dihina-dicaci-dimaki di medsos? Walaupu cuma kata-kata, tapi bisa mempengaruhi psikologis orang yang dihujat di medsos loh. Bahkan bisa berujung depresi dan bunuh diri.
Rasanya, ngga ada habis-habisnya kalau ngebahas netizen. Aku berulang kali nontonin video youtube dan baca-baca tulisan yang ngebahas komentar nyinyir pada netizen, yang dikit-dikit ngehujat, dan semua intinya sama: heran kenapa netizen sifatnya harus begitu.
Tulisan ini aku buat sebagai bentuk keresahan atas fenomena netizen zaman now yang sangat sulit dimengerti dan dinasehati. Semoga, suatu saat nanti, kita semua bisa bijak dalam membuat dan membagikan status serta mengomentari suatu berita. Oh iya, kalian yang punya cerita tentang masalah ini bisa sharing di kolom komentar ya!
p.s. maaf karena tulisanku super berantakan huhuhu
0 Komentar
Please kindly share your thoughts about my post below here!