Dari dulu, aku selalu menganggap lebay fenomena skripsi di dunia kampus. Skripsi doang kok ngga bisa langsung dikerjain sih, pikirku, dengan jiwa raga yang masih terlalu polos. Iya, itu dulu, saat aku belum tau rasanya berhadapan dengan skripsi. Tapi sekarang, aku jadi tau seberapa mengerikannya hal itu.

Pertama kali mulai penelitian, rasanya udah ngga gampang. Harus ngangkut akuarium dari rumah dosen ke lab, tiap hari ganti air akuarium, ikan ratusan ekor selalu mati duluan, sampai bakteri yang ngga mau tumbuh karena faktor x y z. Kan ngga mungkin bakterinya dikasih susu hilo biar tumbuh hm.

Sampai akhirnya aku sampai ke titik dimana penelitian udah di tengah jalan, tinggal tahap akhir, tapi ternyata bakteri yang diperluin belum juga ditemukan keberadaannya.

"Masa harus ngulang?"

Iya, sampai dosbim menyarankan begitu. Kalau harus ngulang, berarti ini ulangan yang ke-sekian kalinya. Bukan lagi ngulang ke-dua atau tiga kalinya.

Tapi, pertolongan Allah ternyata begitu dekat. Saat kami lagi pasrah-pasrahnya, salah satu dosen ternyata
punya kenalan di balai Cirebon yang punya stok bakteri yang dibutuhin. Walaupun kami harus ke sana buat re-kultur sendiri. Lagi sibuk tutup buku, katanya.

Dan selama di Cirebon, aku bener-bener ngerasain yang namanya tangan-tangan Allah bekerja. Yang awalnya mau tidur di mesjid karena saking ngga tau harus tidur di mana, bu Erry, pegawai balai sekaligus kenalan dosen, nawarin rumahnya sebagai tempat kami bermalam. Yang awalnya kami kira akses menuju balai agak susah, ternyata bisa dicapai cuma dengan jalan kaki. Yang awalnya bingung mau ngeprint berkas di mana, ternyata di dekat sana ada tempat print. Yang awalnya kami ragu media bakterinya bakal kontam, ternyata hasilnya bagus banget.

Aku sampai speechless, selain ngucapin hamdalah berkali-kali.

Iya, yang namanya lika-liku di setiap perjalanan pasti ada. Kadang kesandung batu, kadang salah belok, kadang lancar-lancar aja. Tapi yang bikin spesial adalah, gimana cara kita mengambil hikmah di setiap kejadian. Iya, kan?